16 November 2015 / 13 Safar 1437 H
Nabi Musa ‘alaihis salam pernah bertemu
dengan iblis yang menyerupai manusia. Atas ijin dan karunia dari Allah,
Nabi Musa berhasil mengorek keterangan dari iblis tentang siapa manusia
yang paling mudah dikuasai olehnya.
Iblis akhirnya memberitahukan rahasia
itu. “Tiga kondisi yang membuat manusia akan mudah kami kuasai,” kata
Iblis, “Jika manusia kagum dengan dirinya, merasa banyak amalnya dan
melupakan dosa-dosanya.”
Saudaraku, dari kisah yang dituturkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam buku Talbis Iblis ini kita bisa mengambil banyak pelajaran.
Kekaguman pada diri sendiri (‘ujub)
merupakan cikal bakal kesombongan. Merasa diri paling baik, paling suci,
paling hebat. Sikap inilah yang dulu dimiliki iblis sehingga ia diusir
dari surga. Rupanya, dengan sikap ini pula manusia akan mudah dikuasai
oleh iblis.
Ketika seseorang takjub pada dirinya, ia
cenderung akan buta dari kekurangan dan kesalahan dirinya sendiri. Pada
saat yang sama, ia juga tak bisa melihat kebaikan orang lain dan
belajar dari mereka. Yang terjadi, saat ada orang lain berbuat baik, ia
menganggapnya kecil dibandingkan dengan kebaikannya. Saat mengetahui ada
orang lain berprestasi, ia menganggap tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan dirinya.
Kalaupun amal dan prestasi orang lain
itu tak bisa disamainya, ia akan mencari kekurangan atau kesalahan orang
itu untuk dibandingkan dengan dirinya hingga sampai pada kesimpulan
bahwa dirinya tetap lebih unggul dan lebih baik dari orang lain.
Merasa banyak amal merupakan kondisi
kedua yang membuat manusia mudah dikuasai iblis. Karena merasa banyak
amal, ia jadi meremehkan dosa. Apalagi jika menurutnya itu adalah dosa
kecil yang tak sebanding dengan akumulasi amal baiknya. Akhirnya ia
menjadi berani durhaka kepada Allah, tanpa sadar menumpuk-numpuk dosa.
Ia beranggapan kumpulan dosanya hanyalah setumpuk kerikil, padahal
dosanya telah menggunung. Ia beranggapan amalnya seluas samudera,
padahal tidak bernilai di hadapan Allah laksana tetes-tetes air yang
menguap terkena sinar matahari.
Para ulama dan wali Allah, mereka tidak
menganggap kecil suatu dosa karena setiap dosa sejatinya adalah
kedurhakaan kepada Allah yang Maha Besar. Ke-Maha Besar-an Allah membuat
mereka sadar bahwa sekecil apapun maksiat harus segera disesali dan
ditaubati. Maksiat mereka risaukan namun kepada siapa mereka bermaksiat
itu yang lebih merisaukan.
(kisahikmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar