Sabtu, 04 April 2015

BERLALU LINTAS MENURUT ISLAM
Oleh : Quraish Shihab
quraish-shihab
Hamba-hamba Ar-Rahmân – Tuhan Pencurah kasih – adalah  orang-orang yang berjalan di  bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan “salam “ (yakni mari berpisah dengan damai). (Q.S. Al-Furqân [25]: 63).
Kandungan pesan di atas sejalan dengan kandungan pesan Q.S. Al-Isra’ [17]: 37 yang maksudnya: “Janganlah engkau -siapapun engkau- berjalan di persada bumi dengan  penuh keangkuhan/ ugal-ugalan. Itu hanya dapat engkau lakukan kalau engkau telah dapat meraih segala sesuatu, padahal   meskipun engkau berusaha sekuat tenaga tetap saja kakimu tidak dapat menembus bumi walau sekeras apapun hentakanya, dan kendati engkau telah merasa tinggi, namun kepalamu tidak akan dapat setinggi gunung.”
Dalam konteks cara jalan, Nabi saw. mengingatkan agar tidak berjalan membusungkan dada. Namun demikian, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.”
Kini pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam cakupan pengertian ayat di atas penghormatan terhadap  displin lalu lintas.
Peraturan lalu lintas jalan raya serupa dengan peraturan lalu lintas kehidupan. Jangan pernah berkata bahwa lampu merah menghambat kelancaran lalu lintas, ia justru memuluskannya.
Karena itu, sebagaimana kewajiban menghindari yang haram, maka wajib pula mengindahkan lampu merah, dan sebagaimana keharusan menaati pemimpin pemerintahan – suka kepadanya atau tidak –maka demikian juga keharusan mengindahkan polisi lalu lintas yang mengatur kelancaran jalan, karena dengan membangkang akan terjadi chaos, kekacauan, dan kesemrawutan. Para polisi itu  adalah bagian dari apa yang dinamai Al- Qur’an Ulu Al-Amr yakni orang-orang yang memiliki wewenang memerintah, yang oleh Q.S. An-Nisaa’ [4]: 59 dinyatakan harus ditaati. Tentu saja bila tidak melanggar hukum.
Pesan-pesan ayat-ayat di atas bukan berarti anjuran berjalan perlahan, atau larangan bergerak cepat. Nabi Muhammad saw. dilukiskan berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.
Seorang pemuda dilihat oleh Sayyidina Umar ra. berjalan melempem, tanpa semangat bagaikan orang sakit. Beliau menghentikannya sambil bertanya: “Apakah engkau sakit?” ” Tidak,“ jawabnya. Maka Sayyidina Umar ra. menghardik dan memerintahkannya berjalan dengan penuh semangat.
Kalau Anda ingin memperluas makna pesan ayat-ayat di atas, maka Anda dapat berkata bahwa  ia  tidak sekadar menggambarkan cara jalan yang baik, tetapi juga tuntunan kepada pengguna jalan  agar  berinteraksi dengan semua pihak sebaik mungkin. Bukan saja memerhatikan Hak -Hak Asasi Manusia, tetapi juga dalam istilah Nabi Muhammad saw. Hak-Hak Asasi Jalan.
Jika Anda belum pernah mendengar istilah ini maka ketahuilah bahwa Nabi saw. -menggarisbawahi empat hal yang menjadi hak asasi jalan (H.R. Bukhari dan Muslim), yaitu: 
a) Membatasi pandangan – termasuk tidak memperlambat kendaraan, atau berkerumun sehingga memacetkan lalu-lintas sekadar untuk melihat satu peristiwa; 
b) Menghindarkan gangguan, bukan saja dengan tidak membuang sampah di jalan tetapi juga – misalnya– tidak membunyikan klakson secara berlebihan; 
c)  Menyebarluaskan kedamaiaan, antara lain dengan bertoleransi memberi peluang mendahului bagi siapa yang memintanya. Di sisi lain, berterima kasih – walau dengan mengangguk atau mengangkat tangan- kepada yang melapangkan buat Anda; 
d). Mengajak kepada kebaikan serta menghalangi kemungkaran. Butir terakhir  ini mencakup banyak hal, karena memang  berjalan atau  mengemudi membutuhkan bukan sekedar pengetahuan tentang jalan dan berjalan, tetapi ia juga adalah seni dan di atas seni ada akhlak. Wa Allah A’lam. (hd/liputanislam.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar