Kota Deltamas, 21 Jumaidil Akhir / 11 April 2015
EDISI IV
Karena Cinta Itu Radikal
Banyak orang kini tengah meninjau ulang cara pandang mereka terhadap kata “radikal’. Meminjam istilah hukum, sudah lama kata “radikal” ini dikriminalisasi.Sayangnya, tidak seperti pejabat Polri ataupun KPK yang ketika dikriminalisasi banyak muncul pembelaan, kata “radikal” ini sepi dari suara para pengacara.
Dari sejak perang AS melawan terorisme belasan tahun lalu hingga pembreidelan media Islam baru-baru ini, pintu-pintu untuk memulihkan nama baik kata “radikal” semuanya seolah tertutup.
Media-media kita yang dipimpin oleh orang-orang berpendidikan rupanya gagal meletakkan makna radikal secara baik dan benar.
Lihatlah ketika para reporter lapangan melaporkan dengan kalimat, “kelompok radikal telah dilumpuhkan”, “diduga ini ulag gerakan radikal”, dan “radikalisme mengancam NKRI”.
Namun, redaktur media-media mainstream yang paham betul guna dan manfaat bahasa seolah mendadak buta nalarnya. Kata radikal yang butuh keterangan lanjutan, dibiarkan menggantung bersama kesan seram yang diatributkan kepadanya.
Ketika siklus kebutaan media mainstream ini terus berlanjut seperti yang kita rasakan saat ini, akhirnya, kata radikal yang diambil dari terminologi radix yang berarti akar atau mengakar, berubah total.
Tak Ada Cinta Tanpa Radikalisme
Radikalisme, jika kita rujuk ke makna aslinya sejatinya sudah menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Jika kita maknai lewat aksi, maka dengan pemahaman kita yang mengakar dan dalam tentang kandungan narkoba yang berbahaya, kita dengan tegas menolaknya.
Aksi tegas menolak narkoba adalah contoh nyata radikalisme berfikir. Ini sekaligus membuktikan bahwa ketakutan yang disematkan kepada kata radikal betul-betul salah kaprah.
Jika contoh pertama terasa kurang mengena, mari kita beranjak ke contoh yang lebih universal, cinta.
Banyak orang memberi definisi beraneka ragam soal cinta, mulai dari pengorbanan, kesetiaan, tanggung jawab, dan perjuangan.
Pun kita sadar betul bahwa hal-hal tersebut adalah imbasan dari pemahaman kita tentang rasa cinta yang mengakar dalam hati, artinya, wujud cinta dalam aksi dan laku lampah adalah sebentuk radikalisme.
lalu apakah bisa cinta tumbuh tanpa radikalisme?
Silakan dibayangkan, cinta macam apa yang tumbuh tanpa kesetiaan, tanggung jawab, pengorbanan dan perjuangan. Apakah cinta itu masih dapat dibilang cinta, jika satu sama lain saling menyakiti? Apakah cinta itu bisa disebut cinta jika tanggung jawab untuk saling menjaga dihilangkan?
Tanpa radikalisme, hidup manusia akan menjadi terombang ambing. Tanpa radikalisme tidak akan uncul manusia-manusia yang berpegang teguh pada prinsipnya. dan tanpa radikalisme, mungkin negara ini tidak akan merdeka.
Problem Bahasa dalam Ghozwul Fikr
Apa yang terjadi dengan kata “radikal” jika kita telaah lebih jauh sejatinya adalah bagian dari proyek besar ghozwul fikr (perang pemikiran).
Sebab, sebuah konsep pemikiran pasti disampaikan melalui media berupa bahasa, jika sebuah bahasa sudah dirusak dari asal maknanya, maka bisa dipastikan pengucap bahasa tersebut akan mudah dikuasai.
Kita lihat bahwa banyak ditemukan pemaknaan ulang terhadap istilah-istilah kunci dalam teks-teks konstitusi kita.
Kata adil dipaksakan untuk diterjemahkan sebagaimana kata equal yang artinya sama rata lagi seimbang, musyawarah dan mufakat pelan-pelan digeser menjadi voting.
Ketika bahasa dirusak dan menjadi problematik, maka ilmu yang disusun dalam rangkaian bahasa menjadi turut rusak dan rancu saat diterapkan.
Takluknya sebuah bahasa atas pengaruh makna asing yang berseberangan dengan makna aslinya adalah cermin runtuhnya sebuah peradaban.
Disini, kinerja para mubaligh dan da’i kita diuji. Tantangan zaman menuntut agar para ilmuan dan ulama dapat menerjunkan ilmu dan pengetahuan tentang vitalnya kebahasaan ke tengah-tengah masyarakat.
Dan bagi kita orang awam, semangat untuk menuntut ilmu harus terus digalakan, karena kita berpacu dengan kampanye pembodohan besar-besaran yang dipromosikan lewat berbagai media yang mengarahkan kita untuk berhenti bertanya.
Oleh : Azeza Ibrahim Rizki, Pengamat Komunikasi Budaya
Sumber : ISLAM POS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar